Kata wanita terbentuk dari dua kata bahasa jawa (Kerata Bahasa) Wani yang berarti berani dan tata yang berarti teratur. Kerata Bahasa ini mengandung dua makna yang berbeda. Pertama, wani ditata yang berarti berani (mau) diatur. Kedua, wani nata yang artinya merani  mengatur. Pengertian ini mengindikasikan bahwa perempuan juga perlu pendidikan yan tinggi untuk bisa memerankan dengan baik peran ini.

Namun, pada realita sosial di masyarakat kita, masih banyak wanita yang dianggap sebagai seseorang yang tidak lebih dari manusia yang hanya memiliki tiga kewajiban saja yaitu Masak (memasak), Macak (berdandan), dan Manak (melahirkan). Walaupun wanita sudah melakukan hal tersebut masih saja banyak kekerasan yang mereka terima.

Hal ini sejalan dengan Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan, pada tahun 2020 jumlah angka kekerasan terhadap perempuan sebanyak (299.911 kasus dimana terdiri dari 291.677 kasus di pengadilan agama dan 8.234 kasus berasal dari kuisioner lembaga pengadaan layanan). Walaupun data yang disajikan mengalami penurunan sekitar 31,5% dari tahun sebelumnya yang sebanyak (431.471 yang mana berasa dari pengadilan agama sebanyak 416,752 kasus dan 14.719 data kuisioner).

Mengapa jumlah kekerasan terhadap perempuan mengalami penurunan? Turunya angka kekerasan terhadap perempuan disebabkan oleh PSBB (Pembatasan Sosial Bersekala Besar) yang diterapkan oleh pemerintah selama pandemi ini. Hal ini mengakibatkan kantor pelayanan agama membatasi jumlah aduan setiap harinya. Selain itu, korban cenderung mengadu kepada keluarga atau teman terdekat juga menjadi faktor yang memyebabkan banyaknya kasus kekerasan yang tidak diketahui. Faktor literasi teknologi yang kurang mendukung dan juga beberapa faktor lembaga yang kurang bisa menyesuaikan  dengan kondisi saat ini juga ikut andil dalam alasan mengapa turunya jumlah angka kekerasan selama pandemi.

Kekerasan terhadap wanita merupakan masalah kesehatan mental sekaligus pelanggaran hak asasi manusia yang sangat serius di seluruh dunia. Fenomena tersebut sangat kompleks, berakar pada relasi kuasa berbasis gender, seksualitas, identitas diri, dan instutusi sosial yang menadi ancaman serius bagi kesehatan mental perempuan.

Oleh sebab itu, wanita Indonesia harus berani untuk speak up terhadap kekerasan yang mereka alami. Baik kepada instansi pemerintah resmi maupun  ke lembaga layanan masyarakat. Kekerasan yang dialami perempuan saat ini mungkin saja terjadi pada perempuan yang lain, sehingga dengan mereka berbicara lantang tentang semuanya diharapkan penanganan prefentif bisa di optimalkan.

Perempuan dan laki laki juga harus saling mengahargai dan saling mendukung dalam segala macam kondisi. Sebab laki laki dan perempuan itu ibarat seperti dua buah sayap dari seekor burung. Jika kedua sayap bisa saling berkoordinasi yang baik maka burung itu bisa terbang sampai ke puncak yang  tinggi. Namun jika sayap tersebut tidak  saling melengkapi atau bahkan salah satunya terluka, maka burung tersebut tidak dapat terbang.

Ali bin abi thalib juga pernah berkata bahwa wanita itu ibarat seperti bunga. Mereka harus diperlakukan dengan lembut, baik dan penuh kasih sayang. Oleh sebab itu, dalam rangka Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTPA) 2021. Mari kita perempuan Indonesia bergandengan tangan untuk menolak setiap bentuk kekerasan terhadap perempuan. Baik dalam kondisi apapun dan dalam waktu kapanpun itu, kita semua wajib untuk dicintai dan disanyangi. Tanpa adanya wanita, sebuah generasi tidak akan muncul dalam dunia ini.

Karya Tulis : Nabila Nur Aldi